Bangkitnya Para Naga. Морган Райс
membela diri, dan mereka menghadapi masalah; lalu mereka mendatangi Merk yang saat itu telah tenar karena keahliannya bermain pedang, dan Merk pun mendapat bayaran untuk membantu mereka. Para pengganggu kawan-kawannya itu tak pernah berani mengusik mereka lagi, sejak Merk menunjukkan keberaniannya. Kabar cepat tersebar tentang keberanian Merk; ia pun lebih sering disewa, dan kemampuan membunuhnya pun meningkat.
Merk bisa saja memilih menjadi seorang ksatria, seorang prajurit terkenal seperti saudara-saudaranya. Namun toh ia lebih memilih bekerja diam-diam semacam ini. Yang menarik baginya adalah bagaimana memenangi pertarungan, kecepatan membunuh lawan, dan ia segera tahu bahwa para ksatria itu, dengan senjata-senjatanya yang hebat dan baju zirah tebal, tak sampai separuh kemampuannya dalam hal kecepatan atau ketepatan membunuh lawan, sedangkan ia hanyalah seorang pria yang bertarung seorang diri, dengan baju kulit dan belati yang tajam.
Saat ia berjalan sembari menumpukan tongkatnya pada dedaunan, ia teringat suatu malam di sebuah kedai minum bersama saudara-saudara laki-lakinya, tatkala terjadi pertikaian dengan kstaria lawan. Saudaranya terkepung, kalah jumlah, dan saat para ksatria itu masih sibuk berbasa-basi sebelum bertarung, Merk tak mau berlama-lama. Ia melesak cepat dengan belati di tangannya dan menggorok leher semua lawannya, sebelum mereka sempat menghunus pedangnya.
Semestinya saudara-saudaranya berterima kasih padanya karena telah menyelamatkan nyawa mereka—namun mereka semua justru menjauhinya. Mereka takut akan dirinya, dan mereka meremehkan dirinya. Itulah ungkapan terima kasih yang ia dapatkan, dan pengkhianatan yang sangat melukai hati Merk lebih dari apa pun juga. Hal itu semakin membuat hubungan mereka renggang, ditambah dengan segala tetek bengek keningratan dan kesopansantunan. Di matanya, semua itu tak lebih dari kemunafikan, keegoisan; mereka kini mungkin dapat berjalan congkak dengan baju zirah yang mengkilap dan meremehkan dirinya, namun tanpa Merk dan belatinya, mereka pastilah telah terbujur kaku meregang nyawa di kedai minuman itu.
Merk terus berjalan, menghela nafas, berusaha melupakan masa lalunya. Dalam perenungannya, ia menyadari bahwa ia tak sepenuhnya tahu dari mana bakatnya itu berasal. Mungkin karena ia gesit dan tangkas; mungkin juga karena gerakan lengan dan tangannya sangat cepat; mungkin karena ia punya bakat istimewa untuk menemukan titik lemah di tubuh manusia; mungkin karena ia tak pernah ragu-ragu beraksi lebih berani, untuk melakukan tusukan pamungkas yang tak dapat dilakukan oleh orang lain; mungkin; mungkin karena ia melumpuhkan lawannya dalam sekali serang; atau mungkin karena ia mampu berimprovisasi, sanggup membunuh dengan senjata apa pun yang ia miliki—entah itu bulu ayam, palu, atau batang kayu tua. Ia jauh lebih terampil dari orang lain, lebih pandai menyesuaikan diri dan kakinya bergerak lebih cepat—sebuah kombinasi yang mematikan.
Seiring ia beranjak dewasa, semua ksatria angkuh itu makin menjauhinya, bahkan diam-diam mengejeknya (karena tak seorang pun dari mereka yang berani mengejeknya terang-terangan). Namun kini saat usia mereka tak lagi muda, ketika kekuatan mereka telah berkurang dan seiring namanya yang semakin tenar, ia adalah satu-satunya yang menjadi pasukan kerajaan, sementara semua saudaranya yang lain telah terlupakan. Ini semua lantaran para saudaranya itu tak memahami bahwa kesopansantunan tidak membuat seseorang layak menjadi raja. Alih-alih, yang menentukan adalah kekerasan yang berbahaya dan kejam, ketakutan, kemampuan menaklukkan lawan, dan sekaligus kemampuan membunuh yang mengerikan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dan saat tugas nyata sebagai seorang raja harus dituntaskan, kepada dirinyalah mereka menyerahkannya.
Dengan setiap jejakan tongkat pada dedaunan, Merk teringat akan setiap lawan yang dibunuhnya. Ia pernah membunuh musuh bebuyutan sang Raja—bukan dengan meracuninya—musuh yang pernah mereka coba tumpas dengan menyewa pembunuh bayaran, ahli pembuat racun, dan wanita penggoda. Musuh terbesar yang ingin mereka bunuh demi menyampaikan sebuah pesan, dan untuk itu, mereka membutuhkan bantuan Merk. Mereka menginginkan kematian yang mengerikan, yang dilihat oleh banyak orang: dengan belati yang menancap di bola matanya; dengan mayatnya yang tergeletak di pelataran terbuka, atau terjuntai di jendela, agar semua orang bisa melihatnya keesokan paginya, agar semua orang bertanya-tanya siapa gerangan yang berani melawan sang Raja.
Namun saat Raja Tarnis menyerah dan takluk pada Pandesia, Merk pun merasa pupus, dan untuk kali pertama ia merasa tak ada tujuan dalam hidupnya. Tanpa mengabdi pada sang Raja, ia merasa hidupnya terombang-ambing. Sesuatu yang telah lama bergejolak dalam dirinya kini muncul lagi, dan entah mengapa ia tak dapat memahami, betapa dirinya mulai mempertanyakan arti hidupnya. Seluruh hidupnya diisi oleh hasrat akan kematian, dorongan untuk membunuh dan mencabut nyawa lawannya. Hidupnya terasa demikian mudah—bahkan terlalu mudah. Namun kini, ada sesuatu dalam dirinya yang tengah berubah; seolah ia nyaris tak memiliki pijakan yang mantap dalam hidupnya. Ia sangat paham betapa rapuhnya hidup ini, betapa mudahnya hidup ini berakhir, namun kini ia mulai bertanya-tanya bagaimana mempertahankan hidupnya. Jika hidup demikian rapuh, bukankah mempertahankan hidup itu adalah tantangan yang jauh lebih berat daripada mengakhirinya?
Dan dalam hatinya, ia mulai bertanya: apakah hidup ini yang telah ia renggut dari lawan-lawannya?
Merk tak mengerti apa yang membuatnya mulai merenungkan diri, namun jelas perenungan ini membuatnya merasa tak enak hati. Ada sesuatu yang muncul dari dalam dirinya, rasa muak yang tak terperikan, dan ia menjadi jijik membunuh—rasa jijik itu kini sama besarnya dengan kesukaannya untuk membunuh di masa lalunya. Ia berharap ada sesuatu yang dapat ia anggap menjadi pemicu dari semua ini—misalnya, pembunuhan yang ia lakukan pada seseorang—tapi bukan itu juga penyebabnya. Perasaan itu muncul begitu saja dalam dirinya, tanpa sebab. Dan itulah perasaan yang paling mengganggu.
Tidak seperti prajurit bayaran lainnya, Merk hanya mau menerima pekerjaan untuk membunuh seseorang yang memang pantas dibunuh. Namun di kemudian hari, ketika ia telah menjadi sangat ahli, saat bayaran yang ia terima telah sedemikian besar, dan orang-orang yang menyewanya adalah orang-orang penting, maka prinsipnya itu mulai kabur; ia mau diupah untuk membunuh orang-orang yang tak semestinya dibunuh, bahkan tak perlu dibunuh sama sekali. Dan itulah yang membuatnya merasa tak enak hati.
Mark begitu ingin dapat membatalkan semua pembunuhan yang pernah ia lakukan, untuk membuktikan pada orang bahwa dirinya dapat berubah. Ia ingin menghapus masa lalunya, untuk mengembalikan apa yang telah dilakukannya, untuk menebus dosanya. Ia telah bersumpah pada diri sendiri bahwa ia tak akan pernah membunuh lagi; ia tak akan mau diupah untuk membunuh lagi; ia akan menghabiskan sisa hidupnya untuk memohon ampun pada Sang Kuasa; ia akan mengabdikan dirinya untuk membantu orang lain; ia bersumpah akan menjadi seseorang yang lebih baik. Dan semua sumpahnya itulah yang membawanya ke jalan setapak di dalam hutan yang tengah ia susuri dengan tongkatnya ini.
Merk melihat jalan setapak itu menanjak di depannya lantas menurun curam, berseri oleh dedaunan putih, dan ia memandang lagi ke kaki langit untuk mencari di mana Menara Ur. Namun belum juga ia menemukan tanda-tanda keberadaannya. Ia tahu bahwa jalan ini akhirnya akan sampai ke menara itu; inilah perjalanan batin yang telah memanggilnya berbulan-bulan yang lalu. Sejak kecil ia begitu terpesona oleh kisah tentang Sang Penjaga, ordo rahasia para pertapa/ksatria, separuh manusia dan separuh makhluk lain, yang bertugas menghuni dua buah menara—yaitu Menara Ur di barat laut dan Menara Kos di tenggara—dan mengawasi pusaka keramat Kerajaan: Pedang Api. Legenda membuktikan bahwa Pedang Api adalah pusaka yang menjaga Benteng Api tetap bertahan. Tak ada yang tahu pasti di menara mana pedang itu tersimpan; itu adalah sebuah rahasia yang tersimpan rapat yang hanya diketahui oleh Sang Penjaga pertama. Jika pedang itu sampai dipindahkan atau dicuri, maka Benteng Api akan musnah selamanya—dan Escalon akan sangat mudah diserang.
Konon menjadi penjaga menara adalah sebuah panggilan mulia, sebuah tugas suci dan tugas kehormatan—tentu saja jika Sang Penjaga menerimamu. Merk selalu bercita-cita menjadi Sang Penjaga sejak ia kecil; tiap malam menjelang tidur, ia selalu membayangkan seperti apa rasanya bergabung dengan Sang Penjaga. Ia ingin meleburkan diri dalam kesendirian, dalam pengabdian, dalam perenungan diri, dan ia tahu bahwa tak ada cara yang lebih baik selain menjadi Sang Penjaga. Merk telah merasakannya. Ia telah mengganti baju zirahnya dengan mantel kulit, mengganti pedang dengan tongkat, dan untuk kali pertama dalam hidupnya, telah sebulan penuh ia jalani tanpa membunuh atau melukai seseorang. Ia mulai merasa lebih baik.
Ketika berjalan mendaki sebuah bukit kecil, Merk memandang ke sekeliling dengan penuh harapan seperti yang telah dilakukannya selama beberapa hari ini, berharap siapa tahu dari puncak bukit ini ia bisa menemukan di mana letak Menara Ur. Namun ia tak melihatnya di mana pun—yang ia lihat hanyalah hamparan