Bangkitnya Para Naga. Морган Райс
Ia menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya.
Lantas salah satu dari mereka tertawa tergelak—lalu diikuti oleh tawa kawannya yang lain. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan Merk yang masih berdiri di situ; mereka pikir, itulah lelucon terkonyol yang pernah mereka dengar.
"Cerita yang bagus, nak," ujar seorang dari kawanan itu. "Kau benar-benar seorang pertapa pembohong yang lihai."
Si pemimpin itu menekankan belatinya ke leher Merk, cukup kuat hingga membuat darah mulai menetes.
"Kubilang, jawab pertanyaanku," ulangnya. "Jawablah dengan jujur. Apa kau mau mampus sekarang, hah?"
Mark diam saja sambil merasakan sakit, lalu ia memikirkan pertanyaan itu—ia benar-benar memikirkannya. Apakah ia ingin mati? Itu adalah sebuah pertanyaan yang bagus, dan sebuah pertanyaan dengan makna yang jauh lebih dalam dari maksud mereka. Ketika memikirkannya dengan bersungguh-sungguh, ia merasa bahwa sebagian dari dirnya belum ingin mati. Ia memang lelah dengan kehidupan ini, lelah setengah mati.
Namun setelah memikirkannya lagi, Merk akhirnya merasa bahwa ia belum siap mati. Bukan sekarang. Bukan hari ini. Bukan pada saat ia telah siap untuk memulai sebuah lembaran yang baru. Bukan pada saat ia baru saja mulai dapat menikmati hidupnya. Ia ingin mendapatkan sebuah kesempatan untuk berubah. Ia ingin mendapatkan kesempatan untuk mengabdi di Menara. Ia ingin menjadi Sang Penjaga.
"Tidak, aku belum mau mati," jawab Merk.
Akhirnya ia menatap lekat-lekat orang yang menahannya itu tepat di matanya, dan keteguhan mulai muncul di dalam dirinya.
"Dan oleh karena itu," lanjutnya, "Akan kuberi kalian satu kesempatan untuk melepaskanku, sebelum kubunuh kalian semua."
Mereka semua memandang Merk dengan kaget, lantas si pemimpin itu murka dan hendak mulai menyerangnya.
Merk merasa mata pisau mulai mengiris tenggorokannya, dan suatu kekuatan dalam dirinya mulai bekerja. Itu adalah sebuah sisi dalam dirinya sebagai prajurit kelas tinggi, keahlian yang ia latih seumur hidupnya, sisi lain dalam dirinya yang tak dapat menahan kesabaran lebih lama lagi. Dan itu berarti ia harus melanggar sumpahnya—namun Merk tak peduli lagi.
Old yang dahulu pun telah kembali lagi demikian cepat, seolah jati dirinya itu tak pernah ia tinggalkan—dan dalam sekejap mata, dirinya telah berubah kembali menjadi seorang pembunuh.
Merk memusatkan perhatian dan pandangannya pada tiap gerak lawannya, pada tiap kelebat, tiap titik lemah, pada tiap titik mematikan di tubuh lawannya. Hasrat membunuh telah menguasainya bagaikan seorang kawan lama yang ia temui lagi, dan Merk membiarkan hasrat itu berkuasa dalam dirinya.
Dengan satu gerakan secepat kilat, Merk menarik pergelangan tangan si pemimpin begal itu, menotokkan jarinya tepat di titik lemahnya, menghentakkannya hingga patah, dan merebut kembali belatinya yang terlepas, lalu dalam satu gerakan yang cepat, digoroklah leher lawannya lebar-lebar.
Si pemimpin itu sempat memandangnya dengan tatapan terkesima sebelum roboh ke tanah, lalu mati.
Merk berpaling dan memandang kawanan yang lain, dan mereka pun memandangnya juga, tertegun, dengan mulut ternganga.
Kini giliran Merk yang tertawa saat melihat mereka semua, menikmati apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ia berkata "Ada kalanya memang, kalian berurusan dengan orang yang salah."
BAB LIMA
Kyra berdiri di tengah-tengah jembatan yang penuh sesak; ia merasa semua mata tertuju padanya, dan semuanya menanti keputusan soal nasib babi hutan itu. Pipinya merah; ia tak suka menjadi pusat perhatian. Toh, ia senang ayahnya memberikan pengakuan padanya, dan ia merasakan kebanggaan yang amat besar, terlebih karena ayahnya menyerahkan keputusan itu pada dirinya.
Namun di saat yang sama, ia juga memikul tanggung jawab yang berat. Ia tahu, pilihan apa pun yang ia buat akan menetukan nasib orang lain. Sedalam apa pun kebenciannya pada pasukan Pandesia, ia tak ingin bertanggung jawab karena melibatkan bangsanya dalam sebuah perang yang tak dapat mereka menangkan. Tetapi ia pun tak ingin mundur dan membuat Pasukan Pengawal itu semakin besar kepala, semakin menjadi merendahkan bangsanya, membuat bangsanya terlihat lemah, apalagi setelah Anvin dan para prajurit yang lain menghadapi mereka dengan berani.
Ia tahu bahwa ayahnya sangat bijaksana; dengan menyerahkan keputusan itu pada dirinya, ayahnya membuat seolah keputusan itu merupakan keputusan mereka bersama, bukan keputusan para Pasukan Pengawal, dan tindakan itu sendiri telah menyelamatkan muka bangsanya. Ia juga mengerti bahwa ayahnya menyerahkan keputusan itu dengan satu alasan: ayahnya tahu bahwa situasi semacam ini memerlukan dukungan dari pihak luar benteng agar kehormatan semua pihak tetap terjaga—dan ayahnya memilih dirinya karena ia memang cocok, dan karena ayahnya tahu bahwa Kyra tak akan bertindak gegabah, dan karena kata-katanya yang sederhana. Semakin dalam ia memikirkannya, semakin pahamlah Kyra mengapa ayahnya memilih dirinya: bukan untuk memicu pecahnya pertempuran—ayahnya bisa saja memilih Anvin untuk membuat keputusan—namun untuk menghindarkan orang-orang ini dari pertempuran.
Kyra akhirnya menentukan keputusannya.
"Binatang ini terkutuk," ujarnya acuh. "Hampir saja ketiga saudaraku tewas olehnya. Babi hutan ini berasal dari Hutan Akasia dan dibunuh pada saat perayaan Bulan Musim Dingin, hari yang terlarang untuk berburu. Membawanya masuk ke gerbang itu adalah sebuah kesalahan—seharusnya kita membiarkannya membusuk di sana, di tempat asalnya."
Ia berpaling dan memandang para Pasukan Pengawal dengan tatapan mengejek.
"Bawalah babi hutan ini kepada Tuan Gubernur," kata Kyra sembari tersenyum. "Bantulah kami."
Para Pasukan Pengawal itu mengalihkan pandangan dari Kyra ke babi hutan itu, dan raut muka mereka pun berubah; mereka tampak merasa jijik, tak menginginkan babi hutan itu lagi.
Kyra melihat Anvin dan semua orang di situ memandangnya dengan ungkapan setuju dan bersyukur—dan ayahnya pun demikian. Kyra telah mengambil keputusannya—ia telah menyelamatkan muka bangsanya, menghindarkan mereka dari pertempuran—sekaligus berhasil memperolokkan Pandesia.
Kedua kakaknya menurunkan babi hutan yang dipanggulnya dan menggeletakkannya begitu saja di tanah bersalju. Mereka berdua mundur dengan malu-malu, dan bahu mereka jelas kesakitan.
Kini semua mata tertuju pada Pasukan Pengawal yang masih berdiri saja di situ, tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kata-kata Kyra jelas berhasil menohok mereka; kini para pengawal memandang babi hutan itu seakan serupa barang kotor yang baru saja digali dari dalam tanah. Jelas mereka tak lagi menginginkannya. Dan karena babi hutan itu sekarang menjadi milik mereka, maka mereka pun tampaknya telah kehilangan selera untuk mengambilnya.
Setelah kebisuan yang panjang dan menegangkan, komandan Pasukan Pengawal akhirnya memberi isyarat pada anak buahnya untuk mengangkut babi hutan itu, lalu ia berbalik, bersungut-sungut dan berlalu; ia jelas sangat kesal karena menyadari bahwa ia baru saja diakali.
Kerumunan bubar, ketegangan sirna dan kini kelegaan terasa. Banyak anak buah ayahnya yang mendekati Kyra dengan tatapan setuju, dan menepukkan tangan di bahunya.
"Selamat," kata Anvin sembari memandangnya tanda setuju. "Kau akan menjadi pemimpin yang hebat kelak."
Orang-orang desa kembali melanjutkan perjalanannya, hiruk pikuk kembali pecah, ketegangan berangsur reda dan Kyra berbalik lalu memandang ayahnya. Ayahnya pun menatapnya, ia berdiri tak jauh dari Kyra. Di depan anak buahnya, ayahnya selalu pendiam jika terkait soal Kyra, dan demikian pula saat ini—raut mukanya masih sama, namun ia mengagguk pelan pada Kyra, anggukan yang mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan keputusan Kyra.
Kyra memandang ke sekeliling dan melihat Anvin serta Vidar menggenggam tombaknya, lalu jantungnya berdegup kencang.
"Bolehkah aku bergabung dengan kalian?" tanyanya pada Anvin karena tahu bahwa mereka akan pergi ke arena latih, seperti halnya seluruh anak buah ayahnya yang lain.
Anvin melirik gugup pada ayah Kyra, karena ia merasa bahwa sang ayah takkan mengizinkan.
"Salju makin tebal," akhirnya Anvin menjawab sekenanya. "Malam pun hampir tiba"