Bangkitnya Para Naga. Морган Райс
dengan mudah. Mereka bersiul tanda kagum dan berkumpul; mereka adalah pria-pria besar berotot kekar, dengan tubuh satu kaki lebih tinggi dari kedua kakaknya yang tak bisa dibilang kecil, dan kebanyakan dari mereka memiliki jenggot yang sedikit beruban; mereka semua adalah pria-pria terlatih berusia tiga puluhan dan empat puluhan yang telah malang melintang dalam banyak pertempuran, yang telah mengabdi pada Sang Raja dan menanggung kehinaan karena Sang Raja akhirnya menyerah. Mereka adalah para pria yang tak akan pernah sudi menyerah. Pria-pria ini adalah orang-orang berpengalaman dan tak mudah kagum—namun kali ini sepertinya mereka terkagum-kagum akan babi hutan itu.
"Kalian sendiri yang membunuhnya, bukan begitu?" salah satu dari mereka menanyai Brandon, lalu mendekat dan mengamati babi hutan itu.
Kerumunan makin bertambah dan Brandon serta Braxton akhirnya berhenti, menanggapi pujian dan kekaguman pria-pria hebat itu, sembari berusaha mati-matian agar nafasnya tak terlihat terengah-engah.
"Ya, benar!" seru Braxton dengan bangga.
"Babi hutan Tanduk Hitam," kata seorang prajurit lain setelah mendekat dan meraba punggung babi hutan. "Tak pernah kulihat lagi sejak aku kecil. Aku pernah ikut membantu membunuh babi hutan semacam ini—namun saat itu aku bersama dengan banyak orang—dan dua dari antara mereka harus kehilangan jari-jari di tangannya."
"Yah, dan kami tidak kehilangan apa pun," tukas Braxton mantap. "Kecuali sebuah mata tombak."
Emosi Kyra terbakar saat para prajurit itu tertawa karena kagum akan hasil buruan itu; akan tetapi, seorang prajurit lain, pemimpin mereka, yaitu Anvin, melangkah maju dan memeriksa babi hutan itu dengan saksama. Para prajurit lain minggir, memberinya ruang karena rasa segan mereka padanya.
Anvin, komandan pasukan ayahnya, adalah pria yang paling Kyra kagumi; ia hanya tunduk pada ayahnya, dan dialah pemimpin para prajurit terbaik ini. Anvin bagaikan ayah kedua bagi Kyra, dan Kyra telah mengenalnya sejak kecil. Ia tahu bahwa Anvin amat menyayanginya, dan Anvin selalu menjaganya; dan yang paling penting, Anvin selalu meluangkan waktu baginya, mengajarinya teknik-teknik bertarung dan ilmu senjata, sedangkan tak satu pun prajurit lain mau melakukannya. Bahkan tak hanya sekali Anvin mengizinkannya berlatih bersama para prajurit yang lain, dan Kyra selalu menikmati setiap kesempatan yang diberikan padanya. Anvin adalah pria terkuat di antara mereka semua, namun sekaligus pria yang paling baik hati—tentunya pada orang-orang yang Anvin sukai. Pada orang lain yang tak Anvin sukai, Kyra hanya bisa turut prihatin.
Anvin sangat membenci kebohongan; ia adalah jenis pria yang harus selalu mengetahui kebenaran dari segala sesuatu, sesamar apa pun kebenaran itu. Ia memiliki mata yang jeli, dan saat ia melangkah maju lalu memeriksa babi hutan itu dengan cermat, Kyra melihatnya berhenti dan mengamati dua buah luka bekas anak panah. Anvin memiliki mata yang teliti, dan ia adalah satu-satunya orang yang mampu melihat kebenaran yang tersembunyi.
Anvin mengamati baik-baik dua buah bekas luka itu, memeriksa mata panah kecil yang masih menancap di dalamnya, serta serpihan kayu pada anak panah yang dipatahkan oleh kedua kakaknya. Kakak-kakaknya mematahkan anak panah dekat sekali dengan ujung mata panahnya, sehingga semua orang nyaris tak mengetahui apa sebenarnya yang melumpuhkan babi hutan itu. Namun Anvin bukanlah orang sembarangan.
Kyra melihat Anvin yang mengamati luka itu; mata Anvin menyipit dan Kyra tahu bahwa dalam sekejap Anvin telah mengetahui kejadian yang sebenarnya. Anvin membungkuk, melepaskan sarung tangannya, memegang mata babi hutan itu lalu mengambil mata panah yang menancap di sana. Ia mengacungkannya, masih berlumuran darah; lalu ia berpaling pada kedua kakaknya dengan tatap mata curiga.
"Mata tombak, betul?" tanya Anvin menyanggah.
Kerumunan orang terdiam dan tegang karena Brandon dan Braxton tampak gugup. Mereka gelisah.
Kemudian Anvin memandang Kyra.
"Atau sebuah mata panah?" imbuhnya, dan Kyra merasa ini masih akan berlanjut hingga Anvin membuat kesimpulannya.
Anvin berjalan menghampiri Kyra, mengambil sebuah anak panah dari sarungnya, dan menjajarkannya dengan mata panah tadi. Semua orang bisa melihat, bahwa keduanya sama persis. Ia memandang Kyra dengan tatapan bangga dan penuh makna, dan Kyra merasa kini semua mata tertuju padanya.
"Bidikanmu, benar?" tanya Anvin padanya. Namun kata-kata itu lebih mirip pernyataan daripada pertanyaan.
Kyra mengangguk.
"Benar," jawabnya datar; ia senang karena Anvin memberikan sebuah pengakuan atas kemampuannya, dan dengan begitu ia merasa bahwa kebenaran akhirnya terbukti.
"Dan bidikan itulah yang melumpuhkannya," ujar Anvin menyimpulkan. Sekali lagi kata-kata itu adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan; keputusan yang mantap dan tegas setelah mengamati babi hutan itu.
"Aku tidak melihat luka lain selain dua buah luka akibat anak panah ini," tambah Anvin seraya tangannya meraba babi hutan itu—lalu berhenti di telinganya. Anvin mengamati telinga babi hutan itu, lalu berpaling dan menatap Brandon serta Braxton dengan pandangan mencemooh. "Kecuali jika kalian menyebut goresan mata tombak ini sebagai luka."
Anvin menegakkan telinga babi hutan itu, dan muka Brandon serta Braxton merah padam saat para prajurit di situ tertawa terbahak-bahak.
Seorang prajurit termashyur anak buah ayahnya maju ke depan—Vidar, sahabat karib Anvin, seorang pria pendek dan kurus berusia tiga puluhan, dengan wajah suram dan bekas luka melintang di hidungnya. Dengan postur tubuhnya yang kecil, ia terlihat tak cocok menjadi prajurit; namun Kyra mengenal seperti apa sesungguhnya pria ini: Vidar keras bagaikan batu, ia terkenal akan kemampuan bertarung dengan tangan kosong. Ia adalah salah satu prajurit tertangguh yang pernah Kyra kenal, yang pernah merobohkan dua pria dengan badan dua kali lebih besar darinya. Karena tubuh kecilnya itu, banyak orang yang sembrono menjajal kemampuannya—dan akhirnya harus membayar mahal demi mendapatkan pelajaran berharga. Pria ini pun adalah pembimbing Kyra, dan ia selalu melindunginya.
"Sepertinya bidikan mereka berdua meleset," simpul Vidar, "dan gadis ini menyelamatkan nyawa mereka. Siapa yang mengajari kalian menombak?"
Brandon dan Braxton terlihat sangat gugup karena kebohongannya terkuak, dan tak satu pun dari mereka berani angkat bicara.
"Berbohong tentang hasil buruan adalah sesuatu yang sangat menyedihkan," kata Anvin muram, sembari memandang kedua kakaknya. "Enyahlah sekarang juga. Ayah kalian ingin mendengar pengakuan jujurmu."
Brandon dan Braxton hanya dapat berdiri sambil belingsatan, jelas mereka merasa kikuk, saling memandang seolah berdebat jawaban apa yang harus mereka berikan. Sejauh ingatan Kyra, baru kali ini lidah kedua kakaknya kelu tak dapat berkata apa-apa.
Tepat saat kakak-kakaknya ini hendak mengucapkan sesuatu, sekonyong-konyong sebuah suara asing menyela.
"Tak peduli siapa yang membunuhnya," kata suara itu. "Babi hutan itu sekarang menjadi milik kami."
Kyra dan semua orang di situ berpaling, terkejut akan suara kasar dan asing itu—dan perutnya mendadak mual saat ia melihat segerombolan Pasukan Pengawal dengan baju zirahnya yang mencolok merangsek maju, dan orang-orang pun menyingkir. Mereka mendekati babi hutan itu, memandanginya dengan rakus, dan Kyra tahu bahwa mereka menginginkan hasil buruan ini—bukan lantaran mereka memang memerlukannya, namun sekadar demi mempermalukan orang-orang di situ, dengan merampas apa yang mereka banggakan. Leo menggeram di sampingnya, lalu ia mengelus lehernya untuk menenangkan dan menahannya.
"Atas nama Tuan Gubernur, kami ambil babi hutan ini," kata Pemimpin Pasukan Pengawal, seorang prajurit berbadan gempal dengan kening yang rendah, alis tebal, perut buncit dan wajah tolol yang berkerut. "Beliau berterima kasih atas hadiah dari kalian pada pesta perayaan ini."
Ia memberi isyarat pada anak buahnya dan mereka pun maju mendekati babi hutan itu, lalu hendak mengambilnya.
Tiba-tiba Anvin melangkah dengan Vidar di sisinya, lalu menghalangi mereka.
Orang-orang terkesiap—tak seorang pun berani menentang Pasukan Pengawal; demikianlah bunyi aturan tak tertulisnya. Tak seorang pun ingin menyulut amarah Pandesia.
"Setahuku, tak ada yang memberikan hadiah ini padamu," kata Anvin dengan suara dingin, "tidak juga pada Tuan Gubernur."
Kerumunan